AUDIT HUMAS
A. Pengertian Audit Humas
Menurut Pavlik (1987), audit humas adalah kategori penelitian yang paling luas digunakan. Audit humas, katanya, dirancang untuk mengevaluasi kedudukan suatu organisasi dengan publiknya yang relevan. Publik yang dimaksud di sini meliputi internal dan eksternal publik.
Walaupun audit humas sudah digunakan secara luas, bila kita merujuk ke berbagai literature, masih terlihat ragam pendapat sehubungan dengan pengertian audit humas. Untuk keperluan bahasan buku ini, diambil beberapa pendapat dengan maksud untuk dianalisis dan diperbandingkan. Dari perbandingan tersebut akan diperoleh gambaran mengenai pengertian metode audit humas itu sendiri.
Menurut Moore (1989), audit humas adalah suatu studi yang tersusun secara longgar, berskala luas, yang menyelidiki hubungan masyarakat perusahaan, baik secara internal maupun eksternal. Pendapat Moore tersebut setidaknya mengandung hal penting yang perlu untuk dibahas atau diuraikan lebih jauh.
Pertama, studi audit humas dilakukan secara longgar. Maksud longgar di sini adalah dalam penelitian tidak harus mengacu pada satu pendekatan metode penelitian saja. Meskipun audit humas dapat digolongkan dalam penelitian evaluasi, bukan berarti dalam studi ini hanya menerapkan prinsip-prinsip atau prosedur penelitian tersebut secara kaku. Peneliti boleh saja menggabungkan beberapa prinsip metode penelitian. Misalnya, selain menggunakan prinsip metode evaluasi, juga menggunakan prinsip metode survey.
Meskipun dalam praktiknya, audit humas dibolehkan menggunakan berbagai prinsip atau prosedur penelitian, bukan berarti dalam pelaksanaan penelitian dapat seenaknya mengabaikan begitu saja prinsip objektivitas. Prinsip ini tetap harus menjadi skala prioritas utama. Tanpa memperhatikan prinsip objektivitas, hasil penelitian melalui audit humas dengan sendirinya akan kehilangan nilai ilmiahnya. Jadi, kalaupun prinsip metode penelitian lain digunakan dalam audit humas, tetap saja fungsinya hanya sebagai pendukung atau pelengkap. Titik tolaknya atau acuan utamanya tetap pada prinsip-prinsip penelitian evaluasi.
Menurut Ferencic (1991), penelitian evaluasi adalah suatu metode dan teknik penelitian sistematis yang digunakan untuk pengambilan keputusan ataupun penilaian tentang suatu program kegiatan. Sementara tujuannya, kata Ferencic, untuk mengetahui apakah suatu kegiatan berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan penelitian evaluatif, Ferencic (1991) membaginya menjadi tiga jenis, yaitu evaluatif formatif, proses, dan sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan pada awal suatu kegiatan atau aktivitas dilaksanakan. Evaluasi proses adalah evaluasi yang dilakukan pada saat suatu kegiatan atau aktivitas yang sedang dilaksanakan atau berlangsung. Sementara itu, evaluasi sumatif ialah evaluasi yang dilakukan pada saat pelaksanaan kegiatan telah berakhir.
Audit humas dimungkinkan menerapkan ketiga jenis penelitian evaluasi tersebut. Dikatakan demiian, karena pada masing-masing jenis evaluasi tersebut akan dilalui dalam setiap kegiatan humas suatu perusahaan atau lembaga. Apalagi kalau humas dari suatu perusahaan atau lembaga sudah jelas program kerjanya, tuntutan audit humas pada masing-masing tahap evaluasi menjadi sulit ditawar atau semakin penting. Jadi, humas yang bersangkutan secara betul dan konsisten memang menerapkan fungsi manajemen sebagaimana yang diharapkan Terry.
Agar syarat objektivitas tetap terjaga, mau tidak mau peneliti dengan menggunakan audit humas seyogyianya tetap berpikir berdasarkan fakta, menafsirkan berdasarkan fakta, dan membuat kesimpulan berdasarkan fakta. Fakta yang dijadikan acuan tersebut baru dapat digunakan bila alat ukur atau instrumen yang digunakan memenuhi syarat valid dan reliabel. Uraian mengenai validitas dan reliabilitas alat ukur atau instrument dapat dilihat pada uraian di bab 1, khususnya subbahasan alat ukur.
Atas dasar itu, agaknya beralasan bila Moore beranggapan bahwa audit humas termasuk studi yang dapat dilakukan secara longgar. Namun, bila dikaji lebih jauh, pendapat Moore tersebut tentu masih terbuka untuk diperdebatkan. Setidaknya bila audit humas diakitkan dengan tipe penelitian evaluasi. Konsekuensi penggunaan penelitian evaluasi adalah dalam audit humas mau tidak mau harus memperhatikan pula tuntutan pendekatan kuantitatif walaupun harus diakui bahwa penelitian evaluasi dapat pula mengacu pada pendekatan kualitatif atau menggabungkan kedua pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Namun, penggabungan yang dimaksud tentulah sebatas pada penggunaan data.
Kalau pendekatan kuantitatif yang relevan digunakan, idealnya sample penelitian seyogyianya diambil secara random (probability sampling). Dalam menyusun instrument juga harus memperhatikan skala yang akan digunakan, apakah nominal, ordinal, interval, atau rasio. Jika kedua hal itu menjadi focus perhatian, mau tidak mau hasil penelitiannya juga harus dianalisis dengan bantuan uji statistic. Keruntunan berpikir seperti itu, tentu melemahkan pendapat Moore yang mengatakan audit humas merupakan studi yang longgar.
Audit humas merupakan studi berskala luas. Karena Moore ini memang ada benarnya dan masuk akal. Karena audit humas memang berutujuan untuk mengevaluasi semua kegiatan yang dilakukan oleh humas, baik yang ditujukan pada internal publik maupun eksternal publik.
Internal publik mencakup semua karyawan suatu lembaga atau perusahaan mulai dari level tertinggi hingga level terendah, termasuk pula keluarga dari para karyawan itu sendiri. Sementara itu, eksternal publik adalah semua kelompok manusia atau ogranisasi yang berada di luar internal publik, seperti pers, pemerintah, pelanggan, dan masyarakat sekitar.
Kegiatan atau aktivitas yang ditujukan kepada internal publik banyak ragamnya. Di antaranya adalah pertandingan olahraga, wisata, pengumuman, menerbitkan majalah, bulletin, dan bentuk publikasi atau kegiatan lainnya. Sementara itu, kegiatan atau aktivitas yang ditujukan kepada eksternal publik juga beragam. Di antaranya adalah konferensi pers, siaran pers, press tour, anjangsana, open house, pameran, bakti sosial, dan berbagai bentuk publikasi lainnya.
Dengan mengevaluasi semua kegiatan humas, diharapkan akan diketahui kegiatan mana saja yang mencapai hasil dan kegiatan mana pula yang mengalami kegagalan. Dalam konteks ini, persyaratan komprehensif memang terpenuhi. Jadi, makna berskala luas yang dimaksudkan Moore sangatlah ideal.
Dalam dunia empiris, ideal yang diharapkan Moore memang ada. Namun, tidak semua lembaga atau perusahaan menekankan kegiatan internal dan eksternal dalam porsi yang sama. Ada lembaga atau perusahaan yang hanya menekankan pada kegiatan eksternal saja, tetapi ada pula yang lebih memprioritaskan pada kegiatan internal. Mana yang menjadi skala prioritas, sebetulnya bergantung pada tujuan yang hendak dicapai dari masing-masing perusahaan atau lembaga.
Lagi pula, meskipun ada humas suatu lembaga yang memprioritaskan kegiatan internal dan eksternal publik, bukan berarti semua kegiatan yang dilakukannnya itu penting bagi suatu perusahaan atau lembaga. Dari banyaknya kegiatan internal yang dilakukan suatu perusahaan atau lembaga, tentu ada yang penting dan ada pula yang tidak penting. Begitu pula halnya dengan kegiatan eksternal publik. Dengan realitas demikian, audit humas sebetulnya boleh membatasi penelitian pada beberapa kegiatan internal ataupun eksternal publik selama hal itu dinilai penting oleh humas yang bersangkutan. Penting di sini tentu dalam konteks kegiatan yang dimaksud merupakan yang utama atau prioritas-bukan pelengkap- dalam upaya mencapai kegiatan humas internal atau eksternal atau kedua-duanya.
Dalam menentukan kegiatan humas internal dan eksternal mana saja yang akan diaudit, seyogianya diadasarkan paa pertimbangan tertentu. Misalnya, peneliti bisa membatasi pada kegiatan-kegiatan yang dianggap urgen (penting) saja. Pengertian urgen di sini bukan berdasarkan criteria si peneliti, melainkan bertolak pada pendapat pejabat humas atau orang yang diberi wewenang untuk itu oleh perusahaan atau lembaga yang hendak diaudit. Dari keterangan pejabat humas atau orang yang ditunjuk untuk itu, akan diketahui kegiatan internal dan eksternal mana saja yang dianggap penting. Untuk mendapatkan kegiatan apa saja yang penting, mau tidak mau peneliti harus melakukan wawancara mendalam (depth interview) kepada pejabat humas atau orang yang ditunjuk untuk itu.
Selain dilihat dari penting tidaknya suatu kegiatan, sebetulnya dapat juga digunakan pertimbangan lain, seperti hanya membatasi pada kegiatan yang dilaksanakan secara rutin saja. Untuk mengetahui hal itu, tentu pejabat humas atau yang diberi wewenang untuk itu yang paling mengetahuinya. Karena itu, wawancara kepada pejabat humas atau yang diberi wewenang untuk tidak dapat dihindarkan. Bisa pula mengambil beberapa kegiatan yang dilaksanakan secara rutin ataupun yang tidak rutin. Hal terakhir ini boleh saja dilakukan bila tujuan dari audit humas memang ingin mengetahui perbandingan efektivitas kedua kegiatan yang rutin dan tidak rutin. Jadi, mana saja dari kegiatan humas yang hendak diaudit bergantung pada tujuan penelitian dan prioritas dari kegiatan humas di suatu perusahaan atau lembaga tertentu.
Sementara Simon (Wimmer dan Dominick, 1983) berpendapat, audit humas adalah penelitian yang khusus digunakan untuk menggambarkan, mengukur, dan menaksir kegiatan-kegiatan humas suatu perusahaan dan memberikan petunjuk untuk penyusunan program-program selanjutnya.
Jadi, yang hendak diukur dalam audit humas adalah semua kegiatan humas, baik yang ditujukan kepada internal publik maupub eksternal publik. Hal ini tentu dalam arti kalau kedua kegiatan tersebut dilaksanakan atau dilakukan oleh perusahaan atau lembaga yang akan diaudit. Bila dalam suatu perusahaan atau lembaga yang akan diaudit hanya melakukan kegiatan yang ditujukan kepada eksternal publik saja misalnya, yang akan diaudit sebatas kegiatan eksternal saja. Karena tidak mungkin mengaudit yang tidak ada. Begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, memang tidak menutup kemungkinan-humas di Indonesia banyak melakukannya- kedua kegiatan (internal dan eksternal) dilaksanakan secara berimbang oleh suatu perusahaan atau lembaga. Dalam hal demikian, yang diaudit harus kedua kegiatan tersebut.
Untuk mengukurnya, kata Lerbinger (Pavlik, 1987:28), ada dua tipe dasar yang seyogianya dilakukan: (1) identifikasi khalayak dan (2) penelitian mengenai citra. Untuk identifikasi khalayak, kata Lerbinger, ada empat langkah dasar yang perlu diperhatikan sebagai berikut.
Pertama, mengidentifikasikan semua publik yang relevan. Hal itu dimaksudkan supaya diketahui secara persis profil publik suatu perusahaan atau lembaga. Suatu publik dianggap relevan atas dasar apakah suatu perusahaan atau lembaga pada saat ini dan mungkin di masa dating mempunyai dampak terhadap publik atau apakah publik tertentu di masa dating mempunyai pengaruh terhadap perusahaan atau lembaga?
Itu artinya, identifikasi khalayak dimaksudkan untuk mendapatkan segmen internal dan eksternal publik, mulai dari yang terpenting hingga yang tidak penting dari suatu perusahaan atau lembaga. Karena internal publik dari masing-masing kegiatan kemungkinannya ada yang berbeda, identifikasi khalayak sebaiknya dilakukan per kegiatan. Identifikasi ini dapat dilakukan melalui wawancara kepada pejabat humas suatu perusahaan atau lembaga yang akan diaudit atau orang yang ditunjuk oleh pejabat humas yang bersangkutan.
Tujuan mengidentifikasi segmen publik mulai dari terpenting hingga yang tidak penting adalah untuk menetapkan besar sample dari masing-masing segmen. Jumlah sample idealnya paling banyak diambil dari segmen yang paling penting, dan jumlahnya akan semakin mengecil pada segmen publik yang tidak penting. Jadi, jumlah sample pada masing-masing segmen publik idealnya tidak sama.
Kedua, peneliti mengevaluasi kedudukan organisasi dengan setiap publik yang relevan. Penekanan atau fokusnya di sini adalah persepsi publik, selera, dan kegiatan publik dengan perusahaan atau lembaga yang bersangkutan.
Ketiga, peneliti mengidentifikasi isu-isu yang berkaitan dengan publik. Isu-isu yang diidentifkasi seyogyianya sespesifik mungkin dan tetap mengacu pada karakteristik publik yang spesifik pula.
Keempat, peneliti mengukur kekuatan setiap publik. Sampai sejauh mana sumber-sumbernya, keuangannya, humannya, dan sebagainya.
Sementara itu, penelitian mengenai citra yang dimaksud oleh Lerbinger adalah penilaian baik atau buruk dari khalayak internal dan eksternal pada suatu perusahaan atau lembaga. Penelitian ini merupakan pengembangan langkah kedua dari audit humas yang dikemukakan Lerbinger. Untuk keperluan tersebut, peneliti perlu menentukan atau mengetahui (1) kedekatan setiap publik dengan organisasi atau perusahaan, (b) perilaku setiap publik dengan organisasi atau perusahaan, dan (c) untuk setiap publik yang bergabung dengan organisasi.
Khusus mengenai citra, penting diketahui karena tidak ada perusahaan tanpa meiliki salah satu jenis citra baik, buruk, atau diacuhkan. Perusahaan tidak akan sukses tanpa memiliki citra yang baik (Kogan, 1973). Apa yang dikemukakan Kogan agaknya sejalan dengan pendapat Jefkins (1988), yang mengatakan bahwa kita sering mendfenisikan citra secara berbeda-beda, tetapi citra yang ada dalam diri seseorang merupakan hasil dari pengetahuan dan pengalamannya. Hal in berarti setiap orang cenderung memiliki citra dari objek yang sama.
Citra perusahaan, kata Jefkins (1988) adalah karakter dari perusahaan itu sendiri dan cara perusahaan mengusahakan untuk mempengaruhi kesan orang terhadap perusahaan. Cara mengusahakan di sini dapat diartikan, suatu perusahaan atau lembaga melakukan berbagai aktivitas atau kegiatan yang memang sengaja dirancang khusus untuk mempengaruhi publik internal dan eksternal agar mempunyai kesan baik terhadap perusahaan atau lembaga yang bersangkutan. Kesan seperti itu saat ini semakin diperlukan karena persaingan yang tajam di antara sesame perusahaan atau lembaga yang bergerak di bidang produk atau jasa, khususnya yang profit oriented.
Pembatasan pengukuran citra-sebagaimana dikemukakan Lerbinger-tentu mempersempit cakupan dari audit humas. Sebetulnya, audit humas juga dapat mengukur sikap dan persepsi publik internal dan publik eksternal terhadap suatu perusahaan atau lembaga. Baik citra, sikap, maupun persepsi dapat dikelompokkan menjadi variabel pandangan. Jadi, studi audit humas sebetulnya jauh lebih luas cakupannya bila diarahkan pada pandangan publik internal dan publik eksternal terhadap suatu perusahaan atau lembaga.
Ketiga variabel tersebut dapat saja diukur sekaligus. Akan tetapi, bisa pula dua atau satu dari tiga variabel yang masuk dalam kelompok pandangan tersebut. Variabel mana yang akan diukur sangat bergantung pada tujuan dari masing-masing kegiatan internal dan eksternal yang akan diaudit. Bila tujuan dari kegiatan internal dan eksternal ada dua (citra dan sikap) misalnya, kedua variabel itulah yang akan diukur. Sebaliknya, bila ketiganya menjadi tujuan kegiatan humas, ketiganya harus diaudit. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa semua kegiatan yang dilakukan suatu perusahaan atau lembaga, hanyalah bertujuan untuk memperoleh citra dari khalayaknya. Bila memang itu yang menjadi tujuan humas suatu perusahaan atau lembaga, dengan sendirinya penelitiannya juga hanya dibatasi pada citra.
B. Prosedur Audit Humas
Seperti penggunaan metode penelitian lainnya, metode audit humas juga memiliki prosedur tersendiri yang harus dilalui peneliti sehingga persyaratan ilmiah dapat dipenuhi. Prosedur yang dimaksud dalam bahasan ini disebut tahapan yang perlu diuraikan dan dilakukan dalam audit humas.
Berkaitan dengan tahap-tahap penelitian audit humas, Moore (1989) dan Jones (Pavlik, 1987) membaginya menjadi empat tahap :
- menyelidiki apa yang “kita” pikirkan;
- menyelidiki apa yang “mereka” pikirkan;
- mengevaluasi perbedaan antaa dua sudut pandang;
- menganjurkan atau merekomendasikan program komunikasi yang komprehensif dengan tujuan untuk mengakhiri kesenjangan tersebut.
Dari keempat tahap tersebut, dapat diuraikan satu persatu sebagai berikut :
Pertama, apa yang kita pikirkan, berkaitan dengan seseuatu yang ideal yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan atau lembaga. Maksud ideal di sini adalah tujuan yang hendak dicapai oleh suatu perusahaan atau lembaga, baik secara umum maupun khusus.
Sesuatu yang ideal secara umum biasanya akan terlihat pada tujuan suatu perusahaan atau lembaga. Sementara itu, yang ideal secara khusus akan tergambar lebih konkret atau operasional pada tujuan suatu bagian atau divisi humas dari perusahaan atau lembaga yang bersangkutan. Untuk mengetahui apa yang dipikirkan (ideal) oleh suatu perusahaan atau lembaga, sebetulnya cukup mengacu pada tujuan dari bagian atau divisi humasnya.
Kalau tujuan tersebut sudah tergambar secara jelas dalam arsip atau dokumen (data sekunder), tujuan yang dimaksud sudah dapat dijadikan dasar acuan. Sebaliknya, bila tujuan kegiatan humas internal publik dan eksternal publik belum ada yang didokumentasikan, untuk mendapatkan tujuan yang dimaksud mau tidak mau peneliti melakukan wawancara kepada pejabat humas atau orang yang ditunjuk untuk itu oleh suatu perusahaan atau lembaga.
Tujuan yang dimaksud dapat dipilah-pilah menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan diadakannya humas suatu perusahaan atau lembaga dapat dimasukkan ke dalam tujuan umum. Sementara tujuan khusus berkaitan dengan tujuan dari kegiatan internal dan eksternal publik. Bisa pula, tujuan khusus ini dibagi-bagi menjadi berbagai subtujuan khusus. Kalau ini dilakukan, perlu diketahui secara spesifik subtujuan khusus dari masing-masing kegiatan internal publik dan eksternal publik.
Tujuan umum, khusus, dan subkhusus yang dapat diteliti melalui audit humas hanyalah yang berkaitan dengan pandangan internal dan eksternal publik pada suatu perusahaan atau lembaga. Pandangan di sini bisa berupa citra, persepsi, atau sikap internal dan eksternal publik. Ini berarti, tujuan humas yang tidak berkaitan dengan citra, persepsi, dan sikap bukanlah kajian audit humas dalam arti studi citra.
Karena audit humas masuk rumpun penelitian kuantitatif, mau tidak mau tujuan masing-masing kegiatan hendaknya dinyatakan secara kuantitatif pula. Kalau, misalnya, menurut pejabat humas bahwa tujuan kegiatan internal publik adalah menumbuhkan citra perusahaan atau lembaga yang baik bagi keryawannya, perlu ditanyakan pada intensitas berapa citra baik yang diharapkan (idealnya) itu.
Jika citra yang baik dimaksudkan adalah intensitas ketujuh, pengukurannya juga harus sampai pada intensitas ketujuh. Bila citra yang baik itu dimaksudkan adalah intensitas kelima, pengukurannya juga harus sampai pada intensitas kelima. Namun, yang perlu diingat, pengukuran citra sebaiknya menggunakan skala semantic differential, yang menggunakan interval intensitas penilaian terhadap suatu objek mulai dari 1 hingga 7. Tujuan yang sudah dinyatakan secara kuantitatif ini dalam terminology audit humas disebut company ideal, yang dalam terminology penelitian secara umum disebut sesuatu yang diharapkan atau das Sollen.
Kedua, menyelidiki apa yang mereka pikirkan. Maksud “mereka” di sini adalah semua internal publik dan eksternal publik dari suatu perusahaan atau lembaga yang akan diaudit. Masing-masing publik (internal dan eksternal) diidentifiaksi, kemudian diurutkan mulai dari yang paling penting hingga paling tidak penting. Untuk menentukan publik mana yang paling penting hingga paling tidak penting dapat diperoleh melalui wawancara kepada pejabat humas atau wakil perusahaan atau lembaga yang diberi wewenang untuk itu. Bisa juga menggunakan data sekunder (kalau tersedia), seperti buku panduan yang berisi uraian publik dan skala prioritas.
Maksud “pikirkan di sini adalah pandangan atau penilaian dari internal dan eksternal publik terhadap perusahaan atau lembaga. Dalam terminology penelitian, hal itu disebut das Sein atau kenyataannya. Dalam terminology audit humas, hal itu disebut company actual. Ini diperoleh melalui penelitian, yang umunya menggunakan daftar pertanyaan atau kuesioner.
Kuesioner yang digunakan sebaiknya disusun dengan memperhatikan skala semantic differential. Skala ini, kata Zanden (1984:11), digunakan untuk mengukur arti tersirat dari suatu konsep (seseorang, produk, sekelompok orang, sebuah lagu, partai politik, serang kandidat, dan sebagainya). Alam kaitan dengan audit humas, konsep yang hendak diukur mencakup lembaga dalam arti luas, seperti pimpinan lembaga, produk atau jasa yang dihasilkan, pelayanan, kegiatan yang dilakukan, dan fisik lembaganya. Di sini, sample diminta untuk menilai suatu konsep dalam suatu rangkaian skala tujuh nilai dari dua kutub yang berlawanan. Singkatnya, sample diminta untuk menilai suatu konsep atau objek pada salah satu dari tujuh intensitas yang tersedia. Konsep atau objek yang akan dinilai responden diformulasikan dalam kalimat pernyataan (deklaratif).
Ketiga, mengevaluasi perbedaan antara dua sudut pandang dimaksudkan untuk melihat keberhasilan kegiatan yang sudah dilaksanakan. Caranya dengan membandingkan apa yang “kita” pikirkan (company ideal) dengan apa yang “mereka” pikirkan (company actual). Bila nilai company ideal sama dengan nilai company actual, kegiatan yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau lembaga dapat dikatakan berhasil. Artinya, pandangan internal publik dan eksternal publik dapat dikatakan baik atau positif terhadap suatu perusahaan atau lembaga. Sebaliknya, bila nilai company actual tidak mencapai nilai company ideal, kegiatan yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau lembaga dapat dikatakan belum berhasil. Dengan kata lain, pandangan internal publik dan eksternal publik pada suatu perusahaan atau lembaga belum baik atau belum positif.
Evaluasi perbedaan seperti itu terlihat terlalu umum. Artinya, dalam menilai berhasil tidaknya kegiatan yang dilakukan oleh humas suatu perusahaan atau lembaga masih belum spesifik. Untuk mengetahui hasil yang lebih spesifik, mau tidak mau evaluasi juga dilakukan terhadap masing-masing kegiatan dari kegiatan internal dan eksternal. Melalui evaluasi per kegiatan, akan diketahui setidaknya dua hal. Pertama, berhasil tidaknya masing-masing kegiatan dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan (company ideal). Kedua, dari masing-masing kegiatan akan diketahui tahap-tahap atau unsure-unsur mana atau apa saja yang berhasil dan yang mana atau apa pula yang mengalami kegagalan. Spesifikasi hasil evaluasi tersebut akan sangat membantu dalam membuat rekomendasi perbaikan kegiatan humas di masa mendatang.
Ketiga, menganjurkan program komunikasi yang komprehensif, yang bertujuan untuk mengakhiri kesenjangan tersebut. Pada tahap ini, biadanya dikemukan rekomendasi yang mengacu pada hasil evaluasi (lihat tahap ketiga). Rekomendasi di sini dalam upaya memperbaiki kegiatan humas di masa dating agar tercapai tujuan yang telah ditetapkan, bahkan kalau dimungkinkan untuk lebih ditingkatkan.
Ada dua bentuk rekomendasi yang dapat dikemukakan. Pertama, secara umum, dengan memeprhatikan hasil evaluasi terhadap kegiatan internal publik dan eksternal publik. Di sini, rekomendasi perbaikan diarahkan pada semua kegiatan yang belum mencapai hasil dan upaya apa saja yang harus dilakukan untuk meningkatkan kegiatan yang sudah mencapai hasil.
Kedua, secara spesifik, di mana rekomendasi diarahkan pada masing-masing tahap atau unsure dari setiap kegiatan. Rekomendasi tahap kedua ini akan sangat berharga dalam memperbaiki tahap-tahap atau unsur-unsur dari suatu kegiatan yang belum mencapai tujuan. Termasuk pula dalam upaya untuk meningkatkan pencapaian dari setiap tahap atau unsure yang sudah mencapai tujuan.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian bab ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, audit humas sangat bermanfaat untuk mengetahui posisi suatu perusahaan atau lembaga bagi publiknya, baik internal publik maupun eksternal publik. Posisi di sini dapat diartikan sebagai penilaian publik yang berupa pandangan mereka terhadap suatu perusahaan atau lembaga. Penilaian itu dapat berupa citra, sikap dan persepsi publik terhadap perusahaan atau lembaga.
Kedua, penilaian yang berupa pandangan publik tersebut perlu dipantau karena dapat berpengaruh pada suatu perusahaan. Berpengaruh di sini tentu dalam arti dapat memberi dampak terhadap perkembangan atau kemajuan suatu lembaga. Dampak tersebut akan semakin besar bila yang menilai buruk tersebut dating dari publik yang dinilai penting. Bank misalnya, nasabah tentu saja dianggap penting. Bila publik ini menilai suatu bank buruk, tentu akan merugikan bank tersebut.
Ketiga, untuk mengetahui penilaian atau pandangan publik tersebut, metode audit humas menawarkan empat tahap. Keempat tahap itu merupakan langkah-langkah praktis yang sebetulnya dapat dilakukan dengan mudah oleh praktisi humas.
Keempat, melalui hasil audit humas akan diketahui pula kegiatan-kegiatan apa saja yang mencapai tujuan dan kegiatan mana yang belum. Bahkan metode ini meskipun sederhana, mampu mendeteksi kegiatan-kegiatan yang sama sekali gagal.
Kelima, dengan diketahuinya kegiatan yang berhasil dan yang gagal, akan memudahkan pejabat humas untuk memperbaikinya. Semua kegiatan humas pada waktu yang sama dapat segera diperbaiki atau disempurnakan.